Minggu, 21 November 2010

Clinical Governance:Wujud Terjaganya Kualitas Medis Indonesia


"Framing of Evidence-based Policies in global standards that will improve patient care with particular emphasis on such aspects as product safety, safe clinical practice in compliance with appropriate guidelines and safe use of medical products and medical devices and creation of a culture of safety within healthcare and teaching organisations (World Health Assembly, 2002)."

Aspek diatas sangat erat kaitannya dengan era globalisasi bidang kesehatan yang menitikberatkan akan ‘mutu’. Istilah dan definisi ‘mutu’ mempunyai arti/makna dan perspektif yang berbeda bagi setiap individu tergantung dari sudut pandang masing masing. Untuk bidang kesehatan, Donabedian dengan structure, process dan outcome pada awal tahun 80an memperkenalkan tentang cara penilaian untuk standar, kriteria dan indikator. Selang beberapa tahun kemudian Maxwell mengembangkan six dimensions of quality. Tehnik Donabedian dan Maxwell ini lebih menitikberatkan tentang hal membuat standar dan penilaiannya (akreditasi) yang merupakan 2 dari 3 komponen quality assurance. Komponen ke tiga (continuous quality improvement) tidak berkembang, sehingga akibatnya meskipun suatu organisasi pelayanan kesehatan tersebut telah mendapat akreditasi akan tetapi ‘mutu’nya tetap tidak bergeming dan tidak meningkat. Apa yang yang salah?

Salah satu upaya menjamin mutu pelayanan kesehatan adalah dengan konsep clinical governance yang diperkenalkan Departemen Kesehatan Inggris (UK National Health Service/NHS) pada tahun 1997 sebagai strategi baru untuk mencapai "First Class Service". Tujuannya, untuk menjaga agar pelayanan kesehatan sesuai standar pelayanan tinggi, dan dilakukan di lingkungan kerja dengan tingkat profesionalisme tinggi.

Clinical governance dapat diartikan sebagai sebuah kerangka dari NHS yang bertanggung jawab terhadap peningkatan mutu pelayanan secara berkelanjutan, dan menjaga standar pelayanan yang tinggi dengan mebuat lingkungan di mana pelayanan klinis akan berkembang. Secara implisit, clinical governance akan meningkatkan derajat kesehatan melalui upaya klinik maksimal dan biaya paling efektif.

Untuk memimplementasikan kerangka tersebut, NHS menggarisbawahi tiga aspek penting di di dalam clinical governance, antara lain :
  1. Kualitas berstandar nasional, berlaku bagi seluruh organisasi kesehatan (rumah sakit, puskesmas, praktek pribadi) di dalam memberikan pelayanan. Standar dan garis pedomanan (guidelines) yang dipakai berdasarkan dari evidence-based medicine dan disosialisasikan melalui badan pemerintah pada tingkat nasional.
  2. Mekanisme untuk menjaga standar pelayanan yang tinggi, seperti memastikan life-long learning dan regulasi profesi yang sesusai supaya menciptakan sebuah atmosfer yang kondusif dalam peningkatan pelayanan medis.
  3. Sistem yang efektif untuk memantau implementasi kerangka tersebut, seperti tolak ukur dari indikator klinis dan penilaian kerja sistem

Merujuk kepada kerangka clinical governance di atas, setiap organisasi kesehatan harus mengadakan evaluasi dalam meningkatkan kualitas pelayanan medis yang diberikan kepada pasien. Dalam perspektif ini, evaluasi pertanggungjawaban (accountability) terutama dianalisis melalui penilaian kerja (clinical perfomance). Ada beberapa pendekatan yang berbeda di dalam mengevaluasi penilaian kerja, seperti clinical audit, clinical indicators, verbal autopsy, facility-based review dan confidential enquiries.

Clinical audit bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada pasien dan hasil klinis(clinical outcome) melalui tinjuan secara berkelompok (peer-led review) terhadapap evidence-based standard dan memimplementasikan perubahan jika dibutuhkan. Clinical audit mempunyai dua prinsip utama, yaitu:

  • Komitmen untuk lebih baik
  • Penerimaan konsep praktek terbaik atau evidence-based practice oleh para dokter.


National Institute of Clinical Excellence Inggris (NICE, 2002) mendefiniskan lima tahap di dalam melakukan clinical audit:

  1. Tahap 1 : Mempersiapkan untuk audit
  2. Tahap 2 : Memilih kriteria
  3. Tahap 3 : Melakukan penilaian
  4. Tahap 4 : Melakukan perubahan
  5. Tahap 5 : Menjaga peningkatan (sustaining improvement)

Akhir kata, clinical governance harus dikembangkan sebagai kebutuhan, bukan kewajiban. Selain untuk melindungi pasien dari tindakan medik yang bisa merugikan, juga untuk menjaga agar dokter dan petugas kesehatan bersikap profesional, selalu mengup-date ilmu dan kemampuan klinik, dan punya perencanaan kinerja memadai.

Referensi

  • National Institute of Clinical Excellence. 2002. Principles for Best practice in Clinical Audit.UK: Redcliffe Medical Press.
  • Department of Health. 1998. A first class Service Quality in the new NHS. London: NHS executive
  • Lecture note Prof.dr. Adi Utarini, M.Sc, MPH, Ph.D. Quality Framework, Clinical Governance and Patient Safety.
  • Lecture note Prof.dr. Adi Utarini, M.Sc, MPH, Ph.D. Clinical Audit and Quality.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar