Kamis, 09 Desember 2010

Penanganan Bencana:Bagaimana Idealnya?

Teringat sebuah pengalaman yang bisa dikatakan memalukan sekaligus berharga ketika menghadiri sebuah rapat koordinasi pengurangan resiko bencana (PRB) di Kesbanglinmas Yogyakarta.Semua ini berawal dari ide iseng sebuah teman yang mendaftarkan kami sebagai relawan lewat twitter. Berhubungan pada waktu itu materi tentang penanganan bencana dari fakultas belum diberikan, sehingga kami berbekal nekat dengan pengalaman dan pengetahuan tentang penanganan bencana yang bisa dikatakan 0 besar. Rapat yang dihadiri oleh banyak LSM-LSM baik dari dalam negeri dan luar negeri ini yang bekerja sama dengan pemerintahini , membuat kami sejenak berpikir dalam hati "Apa kita tidak salah tempat?". Pada akhirnya pun kami yang sekiranya masih anak bawang dalam rapat ini ditempatkan pada kluster kesehatan dan ambil peran walaupun kontribusinya masih sangat kurang.

Sepenggal cerita di atas memberikan satu inspirasi bahwa pengetahuan perencanaan bencana itu sangat penting dan wajib di ketahui baik oleh orang awam sekalipun. Karena semua tindakan membutuhkan sebuah rencana, dan untuk mendapat hasil yang maksimal membutuhkan sebuah perencanaan yang maksimal pula. Bagaimana rencana bencana yang ideal?


Bencana dapat diartikan sebagai rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis serta memerlukan bantuan luar. Sebuah bencana adalah hasil dari sebuah bahaya (hazzard) seperti gempa bumi, gunung meletus dan kerentanan (vulnerability) dari sebuah situasi yang mencakup komunitas dan infrastuktur. Sehingga peristiwa bisa dikatakan sebagai bencana ketika hazzard dan vulnerability ini bertemu.








Hazard bisa dikatakan sebagai kondisi atau kejadian yang berpotensi menimbulkan kerusakan bagi lingkungan dan properti serta membahayakan kehidupan manusia. Ada dua bentuk hazard yaitu natural hazard (geological, biological, meteriological) dan unnantural hazard (human-origin). Vulnerability dapat diartikan sebagai sejauh mana sebuah komunitas, struktur, servis atau area yang mungkin akan rusak sebagai dampak dari sebuah hazzard.


Penanganan bencana bearti sebuah kebijakan baik secara administratif dan operasional yang di buat berdasarkan berbagai macam tahap (fase) pada seluruh tingkatan bencana. Pada dasarnya penanganan bencana bisa dibagi menjadi tahap sebelum bencana (pre-disaster), ketika bencana (disaster) dan sesudah bencana (post-disaster).





Pada fase pre-disaster, semua aktifitas dan perencanaan yang dilakukan adalah untuk mengurangi kerusakan baik terhadap manusia dan properti yang disebabkan oleh hazzard dan meminimaliris dampak dari hazard ketika bencana terjadi. Pengurangan resiko atau risk reduction adalah kegiatan utama yang bisa dibagi menjadi :
  1. Preparedness : proses perencanaan tindakan protektif dimana melibatkan elemen masyarakat dan pemerintah untuk merespon terjadinya suatu becana dan mengatasinya secara efektif. Contohnya pembuatan emergency plan, pembuatan warning system, melakukan pelatihan, dan pemeliharaan alat-alat.

  2. Mitigation : mencakup perencanaan tindakan yang akan mengurangi efek dari hazard dan vulnerability(baik secara fisik, ekonomi, dan sosial) yang kedepannya akan mengurai skala dampak bencana yang akan datang. Ada dua bentuk mitigasi yaitu stuktural (memperkuat struktur bangunan) dan non-struktural ( relokasi, community empowering, pelatihan).

Pada fase disaster, Kegiatan yang harus dilakukan yaitu terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar dan penyediaan untuk korban bencana terpenuhi serta meminimalisir penderitaan. Biasanya kegiatan-kegiatan ini terangkum dalam bentuk emergency response activity.

Aktivitas dan perencanaan pada fase post-disaster juga memegang peran penting agar tercapainya suatu recovery yang cepat. Pada fase ini ada dua kegiatan yang penting yaitu rehabilitation dan reconstruction (mencakup aspek manusia, sosio-ekonomi,servis, infrastruktur).

Sayangnya, prinsip dan konsep penanganan bencana ini tidak mudah diterapkan. Di Indonesia, faktor penyebabnya adalah kesenjangan sumber daya, teknologi, dan informasi antara pusat dan daerah. Maka, tak aneh, ketika terjadi bencana Wasior, Merapi, Mentawai atau bencana di daerah-daerah lain, lembaga tanggap darurat baik tingkat lokal, provinsi dan nasional tetap kelabakan.

Referensi

Rabu, 08 Desember 2010

Travel Medicine:Persiapan Berwisata Bebas Penyakit

Mosquito-borne and other insect borne illnesses are common throughout the year. Malaria (including chloroquine-resistant strains) is prevalent throughout rural areas, but is uncommon in Jakarta. Dengue fever occurs throughout Indonesia, including in Bali and the major cities, and is particularly common during the rainy season. Australian Health authorities have observed an increase during 2010 in the number of dengue virus infections in returned travellers from Bali, Indonesia. (Departement of Foreign Affairs and Trade, Australia)



Ilustrasi di atas merupakan gambaran sebuah travel warning dari sebuah pemerintah di suatu negara kepada warga negaranya ketika mereka akan berpergian ke luar negeri. Meningkatnya kesadaran akan kesehatan tertuama di negara maju (developed country) dengan adanya travel warning memang menimbulkan banyak dampak negatif terutama pada tujuan negara berkembang. Menurunnya pendapatan utama pariwisata serta transportasi bisa dikatakan sebagai bukti konkret. Stigma terhadap negara yang terkena travel warning pun semakin membuat kesenjangan antara negara berkembang dan negara maju. Namun bila di ambil sisi positifnya, perihal di atas bisa dikatakan sebagai tantangan bagi suatu negara tujuan untuk meningkatkan sistem kesehatannya agar tercipta suatu lingkungan yang sehat.

Alasan utama sebuah negara mengeluarkan travel warning adalah untuk melindungi warga negaranya tereskpos dari berbagai macam resiko kesehatan pada negara tujuan yang notabene belum terlalu farmiliar oleh para pelancong tersebut. Dan ternyata resiko resiko tersebut bisa dicegah dengan adanya sebuah tindakan precaution yang didasarkan pada travel medicine.

Travel medicine adalah disiplin ilmu kedokteran yang memfokuskan perhatian pada hal yang berkaitan dengan kondisi kesehatan dalam kaitannya dengan suatu proses perjalanan (travelling) ini. Cabang ilmu ini mencakup berbagai disiplin ilmu termasuk epidemiologi, penyakit menular, kesehatan masyarakat, kedokteran tropis, fisiologi , mikrobiologi psikiatri, kedokteran kerja dan masih banyak lainnya.


Pada dasarnya dua hal khusus yang menjadi dasar dalam travel medicine adalah promosi kesehatan dan pencegahan penyakit. Setiap wisatawan diwajibkan mendapatkan informasi akan potensi resiko kesehatan di daerah tujuan dan mengerti bagaimana memproteksi diri sendir dari resiko bahaya tersebut. Kemudian diikuti dengan pemberian vaksin yang merupakan salah satu tindakan pencegahan yang biasa dilakukan.


Rekomendasi yang diberikan WHO berkaitan dengan travel medicine ini berupa :

  1. Konsultasi kesehatan sebelum bepergian: Konsultasi ini harus dilakukan setidaknya 4-8 minggu sebelum perjalanan dan dan lebih dianjurkan sebelumnya jika perjalanan jangka panjang atau bekerja di luar negeri. Hal-hal yang harus diperhatikan baik oleh dokter atau pun wisawatan ini antara lain transportasi, daerah tujuan, durasi, tujuan, dan kondisi kesehatan wisatawan saat ini.

  2. Penilaian resiko kesehatan yang berhubungan dengan perjalanan: Setelah melakukan konsultasi, pemberian vaksin atau obat-obat prophylaxis lainnya harus dilakukan menurut hasil penilaian dari konsultasi. Perlu diperhatikan dalam pemberian vaksin dan obat-obatan ini antara lain aspek kondisi kesehatan pasien,riwayat alergi, interaksi vaksin-vaksin dan vaksin-obat. Pemberian informasi tentang metode penularan atau penyebaran penyakit dan pencegahannya seperti mencuci tangan, menjaga kebersihan makanan dan minuman, penggunaan anti nyamuk (repellan) bisa dilakukan untuk penyakit yang tidak bisa dicegah dengan vaksin atau obat.

  3. Medical kit : Persediaan medis cukup harus dilakukan untuk memenuhi semua kebutuhan yang akan datang selama perjalanan.

  4. Perhatian khusus pada kelompok-kelompok tertentu : Mencakup persiapan-persiapan khusus seperti pada usia ekstrim (bayi dan lansia), ibu hamil, difabel dan wisatawan dengan riwayat penyakit kronis.

  5. Asuransi : Semua wisatawan sangat disarankan untuk melakukan perjalanan dengan asuransi perjalanan yang komprehensif. Hal ini memudahkan akan ketersediaannya pelayanan kesehatan didaerah tujuan yang sebagian besar dikelola oleh sektor swasta.

  6. Pemeriksaan kesehatan setelah pulang : Wisatawan disarankan untuk menjalani pemeriksaan medis saat mereka kembali jika mereka menderita a) penyakit kronis seperti jantung, diabetes, saluran pernapasan;b) munculnya gejala penyakit selama 1 minggu setelah pulang seperti demam, diare, muntah, jaundice, penyakit kulit;c) bepergian ke negara endemis malaria;d) bepergian ke negara berkembang selama lebih dari 3 bulan.



Travel medicine sudah menjadi kebutuhan yang mendesak dan penting saat ini. Perubahan pola penyakit global dan seiring dengan kemajuan teknolgi dan transportasi menuntut para dokter untuk selalu up-to date terutama dengan aspek epidemiologi di dunia, yang nantinya akan sangat berguna dalam merekomendasikan perjalanan sehat bagi para wisatawan. Sehingga kerja sama antara bidang penyedia kesehatan, agen biro perjalanan dan wisatawan itu sendiri sangat diperlukan.


Referensi

Stop Nosocomial Infection in Your Hospital!

Infeksi nosokomial telah menjadi momok berbahaya bagi institusi kesehatan terutama rumah sakit sejak dulu. Sebutan bahwa rumah sakit bukan hanya sebagai tempat untuk penyembuhan tetapi juga sumber dari infeksi memang sudah menjadi rahasia umum. Hal ini tentunya sangat merugikan bagi pasien, karena selain memperpanjang masa perawatan di rumah sakit, meningkatnya biaya kesehatan juga merupakan dampak yang seharusnya bisa di hindari.

Infeksi nosokomial adalah Infeksi yang belum ada ketika pasien masuk rumah sakit dan kemudian muncul ketika dalam masa perawatan inap di rumah sakit(umumnya 3x24 jam). Infeksi nosokomial telah menyebar secara luas. Mereka juga merupakan kontributor untuk meningkatnya morbiditas dan kematian. Kebutuhan untuk pengendalian infeksi nosokomial akan semakin meningkat terlebih lagi dalam keadaan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan seperti yang telah dihadapi Indonesia saat ini. Hal ini terjadi kerena :
  • Meningkatkan jumlah dan kepadatan orang
  • Gangguan kekebalan yang bertambah sering (usia, penyakit danperawatan).
  • Meningkatkan daya tahan bakteri terhadap antibiotik (resistance) akibat penggunaan antibiotik yang tidak rasional.

Ada dua penyebaran utama dalam terjadinya infeksi nosokomial, antara lain :

  1. Endogenous, self-infection atau auto-infection: agen penyebab terjadinya infeksi nosokomial berasal dari pasien itu sendiri dan muncul ketika sedang rawat inap di rumah sakit sebagai akibat dari menurunnya daya imunitas tubuh pasien. (contohnya luka operasi yang belum sembuh dipegang dengan tangan pasien yang tidak steril)
  2. Cross contamination diikuti dengan cross infection: Penyebaran infeksi nosokomial melalui kontak dengan agen kausatif baru yang kemudian terjadi infeksi baru. Kontak ini bisa berasal dari petugas paramedis, pasien lain, dan lingkungan seperti air, udara, makanan, serta prosedur dan alat medik (ventilator, iv line, catheter)

Prinsip utama dalam pencegahan infeksi nosokomial adalah memutus rantai penyebaran terjadinya infeksi nosokomial dan memisahkan sumber potensial terjadinya infeksi.


Pengetahuan tentang pencegahan infeksi sangat penting untuk petugas Rumah Sakit dan sarana kesehatan lainnya merupakan sarana umum yang sangat berbahaya, dalam artian rawan, untuk terjadi infeksi. Kemampuan untuk mencegah transmisi infeksi di Rumah Sakit, dan upaya pencegahan infeksi adalah tingkatan pertama dalam pemberian pelayanan yang bermutu.

Salah satu strategi yang sudah terbukti bermanfaat dalam pengendalian infeksi nosokomial adalah peningkatan kemampuan petugas kesehatan dalam metode Universal Precautions atau dalam bahasa Indonesia Kewaspadan Universal ( KU ) yaitu suatu cara penanganan baru untuk meminimalkan pajanan darah dan cairan tubuh dari semua pasien, tanpa memperdulikan status infeksi. Strategi ini mencakup :


  1. Personal hygiene

  2. Cuci tangan menggunakan sabun atau disinfektan dan air mengalir

  3. Penggunaan baju pelindung, masker, sarung tangan, dan penutup kepala

  4. Sterilisasi, desinfeksi, antiseptik dan dekontaminasi

  5. Kewaspadaan Universal pada pengelolaan dan penggunaan alat tajam(injeksi, iv line)

  6. Pengelolaan limbah dan lingkungan

  7. Surveilance

  8. Penetapan standar dan prosedur kerja

Tindakan surveilance mengambil peran sangat penting dalam strategi pencegahan infeksi nosokomial. Dengan pemantauan terus menerus oleh tim yang telah dibentuk oleh rumah sakit untuk menemukan kasus infeksi nosokomial. Hal ini dilakukan untuk menjaga standar kualitas rumah sakit dan memantau prilaku para pekerja medis di rumah sakit. Diharapkan dengan adanya surveilance ini maka :

  1. Menurunnya angka infeksi nosokomial di rumah sakit

  2. Menurukan angka morbiditas dan mortalitas pasien

  3. Mengubah prilaku tenaga kesehatan

  4. Melindungi tenaga kesehatan agar lebih waspada terhadap sumber infeksi di rumah sakit

Resiko terjadinya infeksi nosokomial memang berbagai macam, berikut bentuk atau jenis infeksi nosokomial :

  1. Infeksi saluran kemih (paling sering). Infeksi ini paling sering disebabkan oleh pemasangan catheter. Biasanya terjadi apabila pemasangan yang tidak steril, fikasi yang kurang kuat, pemasangan melewati batas pengunggunaan( sebaiknya diganti 5-7 hari).

  2. Infeksi vaskuler. Paling banyak disebabkan oleh pemasangan infus. Sumber infeksi bisa berasal dari waktu dan cara pemasangan infus, jarum dan infus set, serta botol infus itu sendiri.

  3. Infeksi luka operasi. Resiko terjadinya infeksi luka operasi tergantung kepada jenis, macam operasi, keadaan umum penderita, ketrampilan dokter bedah, dan proses perawatan luka.

  4. Infeksi luka non operasi. Contohnya pada penanganan luka bakar dan dekubitus.

  5. Infeksi saluran pernapasan. Predisposisi terjadinya infeksi ini yaitu derajat keparahan penyakit pasien, rawat inap yang terlalu lama, usia rentan (terlalu muda atau tua) dan penggunaan alat bantu pernapasan (ventilator).


Pencegahan terjadinya infeksi nosokomial memerlukan suatu rencana yang terintegrasi, monitoring dan program untuk mengawasi kejadian infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol penyebarannya. Dari batasan ini dapat disimpulkaan bahwa kejadian infeksi nosokomial adalah infeksi yang secara potensial dapat dicegah. Tenaga kesehatan berperan penting dalam pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial karena mereka merupakan ujung tombak dalam upaya pelayanan kesehatan.



Refensi





Selasa, 07 Desember 2010

Collaboration=Teamwork+Leadership+Communication

"Di dalam rumah sakit berbagai jenis tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuan masing-masing berinteraksi satu sama lain . Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang sangat pesat yang harus diikuti oleh tenaga kesehatan dalam rangka pemberian pelayanan yang bermutu, membuat semakin kompleksnya permasalahan dalam rumah sakit.(UU no 44 thn 2009 tentang rumah sakit) ”

Kolaborasi sudah banyak diterapkan pada setting kesehatan dimasa sekarang. Dalam konteks kerja dan organisasi sebuah institusi kesehatan dijalankan oleh tim multiprofesional di mana menangangi berbagai macam prosedur pelayanan pasien. Dalam hal ini, tim terdiri dari berbagai macam profesi di mana bertanggung jawab atas tugas dan kewajiban yang berbeda pula. Idealnya tidak ada overlapping antara satu profesi dan profesi lainya.

Kolaborasi tidak bisa terbentuk dengan sendirinya dalam sebuah organisasi. Dibutuhkan faktor-faktor tertentu untuk memunculkannya. Walaupun pada kenyataanya, masih sangat sulit dan merupakan tantangan tersendiri untuk menerapkannya. Karena setiap profesi dalam sebuah tim memiliki standar dan budaya profesional tersendiri.

Pertama profesi dokter, dokter mempunyai konsep kerja yang lebih mengarah kompetitif daripada koorperatif. Budaya ini telah terbentuk sejak masuk dalam fakultas kedokteran, di mana dokter dibentuk di dalam lingkungan dengan daya saing tinggi. Walaupun proposi angka dokter dalam institusi kesehatan paling kecil, tetapi dokterlah yang paling berpengaruh dalam institusi kesehatan tersebut. Dokter mempunyai tugas besar dalam membuat keputusan tindakan medik yang akan berpengaruh juga terhadap profesi lainnya. Isitlahnya, dokter adalah sebuah prime-mover. Sebagai contoh, perawat akan merencanakan nursing care berdasarkan keputusan dokter. Farmasist akan menyiapkan obat-obatnya dibutuhkan berdasarkan rekomendasi dari dokter. Dietician akan mengatur menu makanan pasien berdasarkan arahan dari dokter juga.

Perawat merupakan kelompok terbesa dalam institusi kesehatan. Perawatan atau caring adalah kegiatan utama dari perawat. Kegiatan ini juga termasuk dalam salah satu pentingnya sebuah pelayanan medik. Care yang dilakukan oleh perawat dan dokter sangatlah berbeda, tetapi saling melengkapi. Sehingga kolaborasi antara keduannya sangatlah dibutuhkan.

Manajer kesehatan juga merupakan salah satu profesi yang penting. Tugas utamanya adalah memastikan sistem pelayanan kesehatan yang layak baik secara operasional maupun finansial. Masih banyak profesi-profesi lain yang tergabung dalam institusi kesehatan.

Kolaborasi yang efektif mencakup penerapan strategi di mana setiap profesi yang berbeda budayanya berkerja sama dalam satu tim untuk mencapai tujuan yang sama. Dalam konteks kesehatan, setiap profesi kesehatan harus terjalin dalam arahan yang sama untuk mencapai visi yang sama pula. Setiap profesi harus mengeti peran dan tugas kerja masing-masing. Seorang pemimpin (leader) juga sangat dibutuhkan agar sebuah tim tidak kehilangan fokus untuk mencapai tujuanya.

Kerja sama dalam tim (team work) adalah istilah yang popoler dalam majamanen organisasi. Ada empat tipe team work (Kreitner& Kinicki), yaitu:
  1. Advice team. Tim ini dibentuk untuk memberikan informasi dan masukan dalam pengambilan keputusan.

  2. Production team. Tim ini bertanggung jawab dalam melakukan pekerjaan sehari-hari.

  3. Project team. Tim ini dibentuk untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan terentu dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

  4. Action team. Tim ini bertanggung jawab dalam menjalankan aktivitas-aktivitas dalam suatu organisasi.

Terciptanya team work efektif juga membutuhkan sebuah team-friendly organization. Hal ini dapat terwujud dengan adanya sistem pendukung yang dibentuk oleh manajemen organisasi yang sadar akan pentingnya sebuah team work. Setiap kontribusi dari anggota tim harus saling melengkapi bukan saling duplicating dan overlapping. Pembagian kerja dan tanggunjawab dibagi menurut kompetensi masing-masing tetapi tetap diarahkan pada tujuan yang sama. Kegagalan dari sebuah tim juga akan ditanggung oleh seluruh tim, tanpa memperhatikan posisinya dalam organisasi.


Kepemimpinan atau leadership di dalam organisasi kesehatan adalah salah satu kompetensi penting yang harus dimiliki oleh profesi kesehatan terutama dokter. Sikap dan skill kepemimpinan ini biasanya lebih sering didapat dari pengalaman-pengalaman kerja ketimbang ketika masih dalam masa pendidikan.

Leadership adalah kemampuan seorang pemimpin untuk mengerti akan waktu dan cara untuk membuat perubahan, untuk mengenali arah perubahan, untuk mengkomunikasikan strategi perubahan tersebut kepada anggota-anggotanya, dan memberdayakan dan memfasilitasi meraka dalam mencapai tujuan perubahan tersebut. Ada empat elemen dari leadership yang telah banyak di akui dalam organisasi, yaitu:

  1. Leadership adalah proses antara pemimpin dan pengikutnya

  2. Leadership membutuhkan pengaruh sosial

  3. Leadership terjadi pada berbagai macam tingkat di organisasi

  4. Leadership fokus pada pencapaian tujuan

"Leadership requires knowing where you want to go, taking people with you, and giving sufficient time and energy to make it happen"

Inti utama dari sebuah leadership adalah membangun visi dan komitmen. Visi dan tujuan yang jelas dari seorang pemimpin akan membawa anggota pengikutnya kepada arahan yang diinginkan. Tujuannya untuk membuat suatu komitmen dari anggota, sehingga anggota akan bersedia untuk meluangkan waktu dan tenanganya agar terealiasinya sebuah visi. Motivasi dan kepercayaan adalah modal utama dalam terbentuknya suatu komitmen.


Komunikasi adalah proses dimana informasi mengalir dari sumber ke penerima. Setiap profesi kesehatan berkomunikasi karena tuntutan untuk berkolaborasi dan bekerja sama. Persespi adalah inti dari komunikasi karena jika persepsi tidak akurat, mustahil akan terbentuk sebuah komunikasi yang efektif. Komunikasi dibagi dalam dua bentuk yaitu komunikasi verbal(pesan, kalimat) dan non verbal( eye contact, raut wajah, bahasa tubuh). Komunikasi juga dapat dibagi menurut tipenya, yaitu :

  1. Aggresive : mendominasi dan mengontrol segalanya (we win - everyone else lose)

  2. Passive : menghindari konflik secara tidak langsung (we lose -everyone else wins)

  3. Assertive : menghormati pilihan dan kepercayaan orang lain ( everybody wins). Elemen- elemennya terdiri dari fairness, directness, sensitivity, honesty.

Referensi


  • Kreitner R., Kinicki A. 2007. Organizational Behavior : 7th ed. McGraw Hill, International.

  • Lecture note Ir. Valentina. Communication

  • Lecture note Prof. dr. Budi Mulyono Sp.PK (K). Team Work and Leadership

  • UU no 44 thn 2009 Tentang Rumah Sakit

Senin, 06 Desember 2010

Motivasi: Kata Kunci Untuk Sukses


Menjadi sukses adalah impian semua orang. Tentunya untuk itu diperlukan motivasi yang kuat untuk mengatasi tantangan untuk mencapai apa yang inginkan. Apa sesungguhnya yang membuat seseorang termotivasi untuk melakukan sesuatu?

Biasanya seseorang merasa termotivasi saat ada tantangan untuk mengerjakan sesuatu yang baru. Namun pada saat menemukan hambatan seringkali timbul rasa pesimis dan motivasi cenderung turun. Tentunya semua orang pernah mengalami naik turunnya motivasi.

"Motivasi adalah pohon yang disiram dengan kedisiplinan diri

Kemudahan timbul dari kebiasaan. Motivasi pun sama. Ia memerlukan kedisiplinan sehingga seseorang terbiasa hidup dengan motivasi. Intinya motivasi timbul saat seseorang menyukai apa yang ia kerjakan. Ada energi yang bekerja tanpa rasa lelah dan pamrih. Kebalikannya, motivasi bisa turun dan bahkan hilang ketika seseorang itu mulai bosan, lelah dan sebal terhadap apapun yang ia kerjakan.

" P = M x A x C "

Formula sebuah kesuksesan sebuah performa (P) terdiri dari motivation (M), ability (A), dan chance (C). Jika dilihat lebih seksama formula di atas merupakan sebuah perkalian, sehingga jika satu saja dari komponen formula di atas tidak dimiliki oleh seseorang atau bernilai "0", maka kesuksesan tersebut tetap tidak bisa dicapai ( bernilai "0" pula).

Ada beberapa teori tentang motivasi yang sering digunakan yaitu :
  1. Instrumental theory: teori ini menjelaskan bahwa seseorang termotivasi jika didorong oleh adanya uang. Teori ini paling banyak digunakan karena pada penerapannya cukup mudah, cepat dan efektif di kebanyakan lapisan masyarkat.
  2. Needs theory : teori ini menekankan bahwa tidak semua orang membutuhkan uang sebagai kebutuhan utamanya. Seperti yang di jelaskan pada teori Marshlow bahwa ada tingkatan-tingkatan yang harus dipenuhi seperti biological and psychological needs, safety needs, social needs, estem needs, dan self actualization needs.
  3. Expectancy theory : Teori ini menjelaskan bahwa motivasi akan terbentuk apabila hubungan antara peforma dan hasil akan mengarah kepada kepuasan kebutuhan. Persepsi orang bahwa akan berusaha akan menghasilkan kinerja yang memuaskan.
  4. Goal theory : Motivasi seseorang akan tinggi apabila ada sebuah tujuan spesifik yang akan dicapai, tujuan tersebut adalah tantangan yang sangat sulit untuk dicapai.
  5. Reactance theory : Hubungan erat antara kebutuhan dan sikap seseorang sangat erat dengan terciptanya sebuah motivasi. Ada empat unsur penting untuk teori reaktansi: kebebasan yang dirasakan, ancaman terhadap kebebasan, reaktansi, dan pemulihan kebebasan.
  6. Equity theory : Motivasi akan terbentuk apabila semua orang diperlakukan sama dan adil.
  7. Self-Efficacy theory : Seseorang akan termotivasi untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik apabila ia senang dan bisa dalam melakukan pekerjaan tersebut.
  8. Attribution theory : Ada empat kunci utama untuk sukses, yaitu kemampuan, usaha, tantangan, dan keberuntungan.
  9. Role model theory : Motivasi akan meningkat apabila ada sebuah sosok ideal seseorang yang bisa dijadikan contoh untuk ditiru.

"Visi tanpa eksekusi adalah lamunan. Eksekusi tanpa visi adalah mimpi buruk."

Motivasi merupakan kunci untuk meraih sukses. Kemauan kuat untuk menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Seperti apa kata pepatah “Ada kemauan ada jalan”. Namun jika sebuah motivasi tanpa adanya suatu tindakan sama juga bohong. Jadi tanamkan dalam pikiran bahwa untuk menjadi sukses harus dimulai dari sekarang, dari diri sendiri dan dari hal yang sangat kecil.


Referensi :

Theory of Motivation . http://www.analytictech.com/mb021/motivation.htm

Motivation Theory. http://changingminds.org/explanations/theories/a_motivation.htm

Lecture note dr. Andreanasta Meliala, MPH, MAS. Motivation.

Sabtu, 04 Desember 2010

Avian Flu: The Pandemic Is Here!!



Virus influenza memang sudah menjadi langganan penyebab terjadinya kejadian luar biasa pada saluran pernapasan (respiratory disease).Tercatat beberapa virus influenza tipe A yang telah menyebabkan pandemik selama kurun satu abad ini.Virus influenza memiliki banyak reservoir perantara, serta kemampuannya untuk terus bermutasi ketika berpindah dari perantara satu ke lainnya menyebabkan virus ini sangat susah untuk dieradikasi.

Virus influenza masuk kedalam famili orthomyxoviridae. Virus ini terbagai dalam 3 macam menurut capsid dan m-protein, yaitu:
  • Influenza tipe A
  • Influenza tipe B
  • Influenza tipe C

Influenza tipe A dapat menyebabkan epidemik dan pandemik pada burung dan mamalia. Sedangkan influenza tipe B dan C hanya terbatas pada manusia saja dan sifat pathogenic-nya kurang dari tipe A. Influenza tipe A memiliki genome berupa single strand RNA (ssRNA) yang terdiri dari 13.588 nucleotides yang terdistribusi dalam 8 segmen. Di antara 8 segmen tersebut terdapat 2 segmen surface protein yang merupa ciri khas dari virus ini sehingga virus ini bisa dibagi lagi menjadi sub-tipe menurut 2 segmen tersebut. Dua segmen tersebut yaitu:

  • Protein Haemaglutinin (H) pada segmen 4: Protein ini berfungsi sebagai tempat melekatkan virus ke host cell dan memulai proses infeksi.

  • Protein Neuramidase (N) pada segmen 8: Selain sebagai enzim untuk memecah glycosidic linkage. Protein ini berguna untuk membentuk struktur(strain) virus yang baru ketika virus tersebut keluar dari host cell.




Influenza tipe A akhir-akhir ini kembali disoroti akibat munculnya strain baru yang menyebar secara pesat dan telah menyebabkan situasi pandemik. Sebut saja H5N1 sebagai agen kausatif dari flu burung dan yang terbaru H1N1 atau flu babi (swine flu).

Sebagai sifat dasar virus RNA, virus influenza memiliki kemampuan untuk terus berevolusi karena tingkat aktifitas mutasi genome yang tinggi. Mutasi dan rekombinasi merupakan dua faktor utama yang berkontribusi menyebabkan evolusi genetik dari virus RNA. Variasi antigenik dari virus influenza terbagi menjadi :

  • Antigen drift : Antigen drift terjadi ketika gen yang mengenkripsi viral suface antigen, protein H dan protein N, mengalami mutasi ketika virus melakukan replikasi. Akumulasi dari mutasi ini berakibat pada perubahan secara signifikan pada surface protein, sehingga kapabilitas dari host antibody untuk menetraliasi virus tidak berfungsi. Faktanya banyak individu yang tetep terserang penyakit influenza walaupun sudah tervaksinasi.
  • Antigenic shift : Antigenic shift adalah proses di mana dua virus yang berbeda, yang berbeda host species pula, menginfeksi satu host secara bersamaan. Saat virus melakukan replikasi, kombinasi atau bersatunya kedua strain dari virus tersebut terjadi. Proses ini menghasilkan sifat pathogenic virus baru yang sulit untuk diprediksi.

Untuk mendiagnosa kasus flu burung pada manusia pada setting primary health-care ketika fase siaga pandemik, kriteria klinis dan epidemiologis harus saling berkesesuaian. Merujuk kepada WHO case-defintion criteria, kasus flu burung pada manusia dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu:

1. Dicurigai menderita H5N1 (suspected H5N1 cases) : Individu dengan gangguan saluran pernapasan bawah akut yang belum jelas akibatnya, disertai demam >38°C, batuk, sesak nafas dengan riwayat terekspos baik oleh penderita H5N1, hewan yang terinfeksi, atau riwayat konsumsi hewan yang terinfeksi dalam kurun waktu 7 hari.

2. Dimungkinkan menderita H5N1 (Probable H5N1 cases) : Individu yang memenuhi criteria suspected cases dengan salah satu kritera tambahan seperti terlihat infiltrate atau gambaran pneumonia akut dalam foto thorax, ditambah munculnya simptom gagal nafas. Atau kriteria hasil laboratorium yang mengkonfirmasi adanya infeksi influenza tipe A tetapi belum merujuk kepada H5N1.

3. Dikonfirmasi menderita H5N1 (confirmed H5N1 cases) : Individu yang yang memenuhi criteria suspected dan confirmed cases dan hasil positif dari laboratorium tes H5N1 yang dapat dilakukan melalui isolasi virus H5N1 ataupun dengan menggunakan metode PCR. *(WHO)

Obat antiviral merupakan pilihan utama dalam menangani kasus ini. Administrasi obat ini harus dilakukan dalam kurun waktu 24-28 jam setelah terekspos. Dua grup obat antiviral yang biasa digunakan adalah neuraminidase inhibitor dan amantadine derivatives. Oseltamivir dan zanamivir masuk dalam kelompok neuraminidase inhibitor, sedangkan amantadine dan rimantadine masuk dalam kelompok amantadine derivatives.

Oseltamivir adalah obat pilihan pertama, dan zanamivir digunakan ketika Oseltamivir tidak tersedia. Keadaan di mana kasus H5N1 mengalami resistensi terhadap neuraminidase inhibitor, amantadine dan rimantadine dapat digunakan sebagai terapi kombinasi.


Referensi

Selasa, 30 November 2010

Emerging and Re-emerging Disease:Menghadapi Masalah Pandemik


Meskipun kemajuan luar biasa dalam penelitian medis dan perawatan selama abad 20, penyakit menular tetap menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia karena tiga alasan: (1) munculnya penyakit infeksi baru (emerging disease); (2) munculnya kembali penyakit menular lama (re-emerging disease), dan (3) intractable infectious disease.

Emerging disease termasuk wabah penyakit menular yang tidak diketahui sebelumnya atau penyakit menular baru yang insidennya meningkat signifikan dalam dua dekade terakhir. Re-emerging disease atau yang biasa disebut resurging disease adalah wabah penyakit menular yang muncul kembali setelah penurunan yang signifikan dalam insiden dimasa lampau. Ada beberapa faktor yang menyebabkan dua permasalahan ini selalu muncul hampir disetiap tahunnya,yaitu :
  • Evolusi dari microbial agent seperti variasi genetik, rekombinasi, mutasi dan adaptasi

  • Hubungan microbial agent dengan hewan perantara (zoonotic encounter)

  • Perubahan iklim dan lingkungan

  • Perubahan prilaku manusia seperti penggunaan pestisida, penggunaan obat antimikrobial yang bisa menyebabkan resistensi dan penurunan penggunaan vaksin.

  • Pekembangan industri dan ekonomi

  • Perpindahan secara massal yang membawa serta wabah penyakit tertentu (travel diseases)

  • Perang seperti ancaman penggunaan bioterorisme atau senjata biologis.



Sudah banyak microbial agent( virus, bakteri, jamur) yang telah terindikasi menyebabkan wabah penyakit bagi manunsia dan juga memiliki karakteristik untuk mengubah pola penyakit tersebut sehingga menyebabkan wabah penyakit yang baru. Seperti yang dirilis dalam National Institute of Allergy and Infectious Disease (NIAID) yang membagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu :
  1. Grup I : Pathogen baru yang diakui dalam 2 dekade terakhir

  2. Grup II : Re-emerging pathogen

  3. Grup III : Pathogen yang berpontesial sebagai bioterorisme
Peningkatan dan penguatan di bidang pemantauan kesehatan masyarakat (public health surveillance) sangat penting dalam deteksi dini dan penatalaksaan emerging dan re-emerging disease ini. Pemantauan secara berkelanjutan dengan memanfaatkan fungsi laboratorium klinis dan pathologis, pendekatan secara epidemiologi dan kesehatan masyarakat juga diperlukan dalam deteksi cepat terhadapat emerging dan re-emerging disease ini.

WHO telah merekomendasikan kepada setiap negara dengan sebuah sistem peringatan dini (early warning system) untuk wabah penyakit menular dan sistem surveillance untuk emerging dan re-emerging disease khususnya untuk wabah penyakit pandemik. Sistem surveillance merujuk kepada pengumpulan, analisis dan intrepretasi dari hasil data secara sistemik yang akan digunakan sebagai rencana penatalaksaan (pandemic preparedness) dan evaluasi dalam praktek kesehatan masyakarat dalam rangka menurunkan angka morbiditas dan meningkatkan kualitas kesehatan(Center for Disease Control and Prevention/CDC). Contoh sistem surveillance ini seperti dalam kasus severe acute respiratory syndrome (SARS), di mana salah satu aktivitas di bawah ini direkomendasikan untuk harus dilaksanakan yaitu:
  1. Komprehensif atau surveillance berbasis hospital (sentinel) untuk setiap individual dengan gejala acute respiratory ilness ketika masuk dalam rumah sakit.

  2. Surveillance terhadap kematian yang tidak dapat dijelaskan karena acute respiratory ilness di dalam komunitas.

  3. Surveillance terhadap kematian yang tidak dapat dijelaskan karena acute respiratory ilness di lingkup rumah sakit.

  4. Memonitor distribusi penggunaan obat antiviral untuk influenza A , obat antrimicrobial
    dan obat lain yang biasa digunakan untuk menangani kasus acute respiratory ilness
Fungsi utama dari sistem surveillance ini adalah :

(1) Menyediakan informasi seperti pemantauan secara efektif terhadap distribusi dan angka prevalensi, deteksi kejadian luar biasa, pemantauan terhadap intervensi, dan memprediksi bahaya baru.

(2) Melakukan tindakan dan intervensi.

Sehingga diharapkan munculnya kejadian luar biasa yang bersifat endemik, epidemik dan pandemik dapat dihindari dan mengurangi dampak merugikan akibat wabah penyakit tersebut.

Tindak lanjut dari hasil surveillance ini adalah pembuatan perencanaan atau yang lebih dikenal dengan pandemic preparedness. WHO merekomendasikan prinsip-prinsip penatalaksaan pandemic preparedness seperti yang tertera di bawah ini:
  1. Perencanaan dan koordinasi antara sektor kesehatan, sektor nonkesehatan, dan komunitas
  2. Pemantauan dan penilaian terhadap situasi dan kondisi secara berkelanjutan
  3. Mengurangi penyebaran wabah penyakit baik dalam lingkup individu, komunitas dan internasional
  4. Kesinambungan penyediaan upaya kesehatan melalui sistem kesehatan yang dirancang khusus untuk kejadian pandemik.
  5. Komunikasi dengan adanya pertukaran informasi-informasi yang dinilai relevan.


Referensi:

WHO.http://www.who.int/csr/disease/influenza/pipguidance2009/en/index.html

WHO.http://www.aclu.org/pdfs/privacy/pemic_report.pdf

NIAID.http://www.niaid.nih.gov/topics/Flu/understandingFlu/Pages/definitionsOverview.aspx

WHO.http://www.who.int/csr/disease/influenza/pandemic/en/

NIAID.http://www.niaid.nih.gov/topics/emerging/Pages/list.aspx


Senin, 29 November 2010

DVI : Mengungkap Teka-Teki Jenazah Korban Bencana



Indonesia merupkan wilayah yang rawan bencana baik bencana alam maupun akibat ulah manusia disebabkan letak geografis, jumlah penduduk, keterbatasan sarana. Bencana massal diartikan sebagai bencana di mana 12 korban meninggal dalam satu kejadian becana tersebut. Setiap bencana pasti menimbulkan korban baik korban hidup yang mengalami luka-luka atau korban mati. Saat ini identifikasi korban mati merupakan suatu hak asasi manusia (HAM) pada serta pemenuhan aspek legal sipil juga untuk keluarganya.







Kementerian Kesehatan bersama dengan Kepolisian RI sejak tahun 1999 telah melakukan kerjasama dalam penanganan korban mati dengan membentuk tim Disater Victim Identification (DVI) baik dalam lingkup provinsi, regional dan nasional. Tim ini terdiri dari beberapa mutidisplin sektor dari kesehatan, polisi, TNI, pemerintah daerah dan SAR. Tim DVI Nasional berkedudukan di ibu kota Negara dan mempunyai tugas membina dan mengkoordinasikan semua usaha serta kegiatan identifikasi, sesuai aturan dan prosedur yang berlaku secara nasional maupun Internasional pada korban-korban mati massal akibat bencana (Disaster Victim Identification). Saat ini telah terbentuk 4 Tim DVI Regional terdiri dari :
  1. Tim DVI Regional Barat I berkedudukan di Medan

  2. Tim DVI Regional Barat II berkedudukan di Jakarta

  3. Tim DVI Regional Tengah berkedudukan di Surabaya

  4. Tim DVI Regional Timur berkedudukan di Makassar
Merujuk kepada rekomendasi yang telah dikeluarkan oleh jejaring DVI international atau Interpol proses identifikasi korban terdiri lima tahap (step). Tim DVI sendiri terdiri dari forensic pathologist, ondotologist, fingerprint expert, antropologist dan multiprofesional lainnya. Lima tahap tersebut terdiri dari :
  1. Tempat Kejadian Perkara (TKP) unit
  2. Post Mortem Unit
  3. Ante Mortem Unit
  4. Rekonsiliasi
  5. Identifikasi dan Rekonstruksi
1. Di tempat kejadian, tim harus mengamankan tempat kejadian dengan membuat tanda dan label, serta mengumpulkan potongan-potongan tubuh yang tersisa. Potongan tubuh ini harus dipetakan menurut koordinat untuk memudahkan dalam meninvestigasi distribusi dari tubuh korban tersebut, serta membuat skesta dan foto. Setelah itu, tubuh korban tersebut dimasukkan kedalam tas kadaver dan diberi label dan dievakuasi untuk dikirim kepada postmortem unit.


2. Jenazah tubuh ini kemudian di data terlebih dahulu ketika sampai di bagian forensik di rumah sakit terkait. Jika memungkinkan, grouping secara kasar bisa dilakukan seperti memisahkan antara potongan tubuh yang masih intact, termutilasi, bagian tubuh yang terpisah, dan properti yang menyertai jenazah tersebut. Selanjutnya, autopsi terhadap jenazah dilakukan untuk mendapat data-data post mortem.

Ada beberapa cara pengambilan data-data postmortem yang penting untuk identifikasi jenazah, antara lain:

  • Data primer: Sidik jari, pemerikasaan gigi, DNA, dan pemeriksaan Antrhopologi

  • Datasekunder : Dokumen, properti dan aksesoris, serta personal description

Sidik Jari

Sidik jari mempunyai tingkat akurasi yang sangat tinggi dalam proses identifikasi, tidak ada sidik jari yang sama antara individu satu dengan individu lain, bahkan kembar identik sekalipun. Sidik jari mungkin lebih sedikit rumit pada jenazah yang sudah decomposed. Sidik jari mempunyai bentuk umum seperti lengukangan, putaran, alur dan kombinasi antaranya.

Teeth Examination

Gigi juga mempunyai tingkat karakteristik yang tinggi untuk proses identifikasi. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan oleh forensic odontology atau forensic dentistry. Para profesional ini harus membandingkan profil gigi dari jenazah dengan rekam gigi (dental record) yang sudah ada. Pemeriksaan ini sangat murah dan sangat singkat. Namun, pemeriksaan ini masih sangat sulit untuk diterapkan di Indonesia, karena kebanyakan masyarakatan Indonesia tidak pernah pergi ke dokter gigi. Hanya sebagaian masyakarat dengan sosio-ekonomi tinggi yang biasanya mempunyai dental record.

DNA Examination

Seperti yang kita ketahui bahwa DNA setiap manusia itu berbeda satu dengan yang lain, tetapi bisa diturunkan kepada keturunannnya. Alasan ini yang menjelaskan bahwa pemeriksaan DNA juga mempunyai tingkat karakteristik paling tinggi. Teknik baru yang banyak digunakan pada saat ini adalah Short Tandem repeat (STR). Pada dasarnya, teknik mengunakan DNA dari jenazah yang kemudian dibandingkan dengan kedua orangnya tuanya. Teknik lain yang juga banyak diterapkan yaitu Mitochondrial DNA (Mt-DNA). Teknik ini membandingkan Mt-DNA dari jenazah dan Mt-DNA ibunya, karena Mt-DNA hanya diturunkan menurut maternal line. Kerugian pemeriksaan ini adalah sangat mahal dan membutuhkan waktu lama.

Anthropology

Pemeriksaan anthropologi dilakukan kepada jenazah yang sudah decomposed atau tinggal potongan tulang saja. Identifikasi ini meliputi penetapan spesimen adalah tulang atau bukan, penetapan tulang manunia atau bukan, penetapan jenis kelamin, penetepan umur, penetapan tinggi, dan penetapan ras.

Document
Dokumen, seperti KTP dan paspor, sangat berguna dalam identifikasi jenazah. Dikarenakan, kebanyakan masyarakat biasanya selalu membawa KTP kemanapun mereka pergi. Banyak informasi yang bisa didapat dari KTP seperti foto, nama, jenis kelamin, umur, dan alamat.
Properti dan Aksesoris
Karakteristik dari barang bawaan seperti tas, dompet, baju dan aksesoris lainnya dapat membantu pula dalam proses identifikasi. Karakteristik itu dapat berupa warna, jenis material, merek dan label.

Personal Characteristic
Bentuk wajah adalah salah satu metode yang termasuk simple dalam identifikasi jenazah. Namun, masalah muncul ketika wajah tersebut telah hancur, decomposed, atau terbakar parah. Setiap individu memiliki karakteristik tubuh tersendiri seperti tanda lahir, pigmentasi kulit, panjang, warna dan struktur dari rambut, bentuk hidung, ukuran dan warna dari mata. Riwayat penyakit atau trauma dahulu seperti scar, tatto, medical surgery, platina plate biasanya sangat mudah dikenali oleh keluarga atau kerabat dekat dari korban tersebut.

3.Secara bersamaan informasi jenazah juga dikumpulkan melalui keluarga dan kerabat dekat pada Ante mortem unit. Semua informasi individu ini dianggap sebagai daftar orang hilang.

4.Di dalam rekonsiliasi unit, kedua data ante mortem dan post mortem dibandingkan. Dalam proses ini membutuhkan multidisplin experties seperti forensic dentist, antropologist, pathologist, fingerprint expert dan pakar lainnya dalam diskusi hasil pemeriksaan ini. Ketika data dari ante mortem dan post mortem ini cocok, artinya teridentifikasi. Jika tidak cocok, maka artinya belum teridentifikasi.

5. Setelah identifikasi, hasil perbandingan data tadi harus diperiksa kembali. Setelah itu tim DVI bisa mengeluarkan surat kematian (death certificate) dan dikembalikan kepada keluarga. Publikasi dari hasil identifikasi perlu untuk dikoordinasikan dengan media massa.





Diumpamakan kalau tim DVI yang bekerja seperti bermain puzzle, sebab dari bentuk yang terpecah-pecah harus disusun menjadi bentuk yang utuh, dan proses ini bisa memakan waktu yang tidak sebentar. Dalam pemeriksaan DVI kadang tidak semua korban datanya bisa cepat teridentifikasi.


Minggu, 28 November 2010

Profesionalitas Dokter:Menjawab Tantangan Demi Tantangan



Akhir-akhir ini tuntutan hukum terhadap dokter dengan dakwaan melakukan malpraktek makin meningkat dimana-mana, termasuk di negara kita. Ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran hukum masyarakat, dimana masyarakat lebih menyadari akan haknya. Disisi lain para dokter dituntut untuk melaksanakan kewajiban dan tugas profesinya dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab. Dokter saat ini bisa dikatakan mengalami masa-masa frustrasi akibat dampak perubahan dalam sistem pelayanan kesehatan di hampir semua negara termasuk Indonesia yang mengancam sifat dan nilai-nilai dasar profesionalisme medis.

Berbagai macam isu tuntutan hukum terhadap dokter dapat di kategorikan sebagai berikut
  1. Malpraktek : Pada peraturan Hukum RI tidak dijelaskan definisinya.Tetapi ada kriteria 4D yang dapat dinilai, yaitu:duty, dereliction of that duty, damaged, direct causal relationship.
  2. Kelalaian : Bukan sengaja, meliputi: kelalaian tidak merujuk,kelalaian tidak konsultasi dengan dokter sebelumnya, kelalaian mendeteksi komplikasi, instruksi Medis per-telepon.
  3. Lack of Skill : melakukan tindakan medis dengan kompetensi yang kurang/ diluar kompetensinya.
  4. Medical Error : ketidakberhasilan melakukan suatu prosedur tindakan medis terencana akibat kekeliruan tertentu secara tidak sengaja.
  5. Medical Blunder: Suatu tindakan medis yang bersifat buruk, bodoh dan dilakukan secara sembarangan dan menimbulkan akibat negatif output.
  6. Kecelakaan Medis:Lebih kearah tidak disengaja(misal: saat operasi terjadi kerusakan alatrespirator).
  7. Resiko Medis: Hampir semua tindakan medis beresiko, olehkarena itu perlu dijelaskan pada pasien dan keluarganya tentang resiko tersebut, kemudian dicantumkan dalam Informed Concent.
Profesionalisme medis lebih sering diabaikan oleh dokter di masa sekarang jika dibandingkan dengan masa lalu. Saat ini, profesi kedokteran dihadapkan oleh sebuah ledakan kemajuan teknologi, perubahan kekuatan pasar ekonomi, masalah dalam penyediaan layanan kesehatan, bioterorisme, dan globalisasi. Buntutnya, menurunnya profesionalitas ini juga dikarenakan kurangnya penekanan pada pentingnya profesionalisme medis tersebut.


Menilik kembali perjalanan panjang seseorang bisa menjadi dokter, sebenarnya penggemblengan profesionalitas ini sudah ada sejak ia akan masuk ke fakultas kedokteran. Seleksi ketat dengan peminat calon mahasiswa paling banyak dan kuota yang terbatas, sehingga pada dasarnya harus memiliki modal intelegensi di atas rata-rata atau bisa dikatakan bahwa mahasiswa fakultas kedokteran adalah orang yang terpilih.

Setelah lulus pun masih banyak alur regulasi yang harus dipenuhi agar dokter tersebut bisa melaksanakan upaya kesehatan, seperti yang di atur dalam UU no 29 th 2004 tentang Praktik Kedokteran (medical practices). Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk :
  • Memberikan perlindungan kepada pasien
  • Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter
  • Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan dokter.
Di bawah lembaga Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang bertanggung jawab langsung kepada presiden ini mempunyai fungsi yaitu pengaturan, pengesahan,penetapan, serta pembinaan dokter yang menjalankan praktik kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis. Alur proses regulasi terdiri dari :
  1. Sertifikasi : Di dapatkan setelah lulus dari fakultas kedokteran dari institusi terkait. Menjadi syarat untuk menempuh ujian kompetensi.
  2. Sertifikat kompetensi : Didapatkan setelah lulus ujian kompetensi yang diadakan oleh Majelis Tenaga Kesehatan Propinsi (MTKP). Menjadi syarat untuk melakukan registrasi di KKI
  3. Surat tanda registrasi : Dikeluarkan oleh KKI, Surat Tanda Registrasi adalah pencatatan resmi dokter yang telah memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu, serta diakui secara hukum untuk melakukan tindakan sesuai kompetensinya. Merupkan syarat untuk mendapatkan surat ijin praktik (SIP).
  4. Surat ijin praktik (SIP) : Sesuai Permenkes No. 512/Menkes/Per/IV/2007 Tentang izin praktik dan pelaksanaan praktik kedokteran, SIP di keluarkan oleh pemerintah provinsi atau kabupaten setempat sebagai bukti dokter tersebut boleh melakukan upaya kesehatan. Dengan kuota maksimal tiga tempat dan jangka waktu lima tahun
  5. Kredential dan Surat Kewenangan : Dikeluarkan oleh lembaga atau komisi kesehatan rumah sakit kepada dokter untuk diberikan ijin khusus melakukan tindakan medis tertentu.
Menurut Physician Charter ditulis pada tahun 2002, dalam kemitraan antara American College of Physicians Foundation dan the European Federation of Internal Medicine, ada tiga prinsip dasar profesionalisme medis, yaitu :
  1. Prinsip keutamaan kesejahteraan pasien : Prinsip ini didasarkan pada dedikasi untuk melayani kepentingan pasien.
  2. Prinsip otonomi pasien : Dokter harus menghormati otonomi pasien.
  3. Prinsip keadilan sosial : Profesi medis harus mempromosikan keadilan dalam sistem upaya kesehatan, termasuk distribusi yang adil terhadap sumber daya kesehatan.



Perjanjian itu juga mengatur beberapa komitmen tanggung jawab seorang dokter sebagai profesional kesehatan, antara lain:
  1. Komitmen untuk professional competence. Dokter harus berkomitmen untuk belajar sepanjang hayat (life-long learning) dan bertanggung jawab untuk menjaga pengetahuan medis dan ketrampilan klinisnya dan ketrampilan dalam tim yang diperlukan untuk penyediaan upaya kesehatan yang berkualitas.
  2. Komitmen terhadap kejujuran dengan pasien. Dokter harus memberikan informasi yang sebenarnya sebelum pasien menyetujui untuk pengobatan dan setelah upaya kesehatan telah dilakukan.
  3. Komitmen untuk menjaga kerahasiaan pasien. Kepercayaan dan keyakinan pasien dapat diperoleh dengan cara menjaga kerahasian pasien tersebut
  4. Komitmen untuk mempertahankan hubungan yang sesuai dengan pasien. Mengingat kerentanan yang melekat dan ketergantungan pasien,hubungan tertentu antara dokter dan pasien harus dihindari.
  5. Komitmen untuk meningkatkan kualitas upaya kesehatan. Dokter harus berdedikasi untuk melakukan peningkatan yang berkelanjutan dalam kualitas upaya kesehatan.
  6. Komitmen untuk meningkatkan akses upaya kesehatan. Tuntutan profesionalisme medis bahwa tujuan dari semua sistem upaya kesehatan adalah ketersediaan dan keseragaman dari standar upaya kesehatan.
  7. Komitmen untuk pengetahuan ilmiah. Didasarkan pada integritas dan penggunaan yang tepat pengetahuan ilmiah dan teknologi.
  8. Komitmen untuk menjaga kepercayaan dengan mengelola konflik kepentingan. Mendahulukan kepentingan pasien di atas kepentingan pribadi.
  9. Komitmen terhadap tanggung jawab profesional. Sebagai anggota profesi, dokter diharapkan bekerja sama untuk memaksimalkan upaya kesehatan terhadap pasien, dan berpartisipasi dalam proses regulasi diri.
  10. Komitmen untuk distribusi hanya dari sumber daya yang terbatas. Kerja sama dengan dokter lain, rumah sakit, dan wajib untuk mengembangkan pedoman untuk upaya kesehatan dengan biaya yang efektif.
Profesionalitas memang meliputi banyak tuntutan kualifikasi terhadap aaa karakter dan sikap, tetapi sebenarnya ini adalah cara hidup (way of life), tak bisa terpisahkan dari individu seorang dokter, yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan dan pengalaman. Pikirkan sejenak apalabila kondisi kita sebagai seorang dokter terbalik menjadi pasien. Apa yang kita inginkan dari seorang dokter yang profesional ketika melakukan tindakan medis terhadap kita?


Referensi
  • UU no 29 th 2004 tentang Praktik Kedokteran.
  • Konsil Kedokteran Indonesia (KKI)
  • Sox, H.C. (ed). 2002. Perspective Medical Professionalism in the New Millennium: A Physician Charter. Ann Intern Med. 136 pp. 243-246.
  • McDonagh, D. 2008. Medical Professionalism. Northeast Florida Medicine Supplement.
  • Lecture Note dr. Rukmono Siswishanto, Sp.OG(K). Regulating Physician and Services.

Manajemen Penyakit Kronis:Sebuah Langkah Baru

Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidens dan prevalensi DM tipe-2 di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar untuk tahun-tahun mendatang. Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Perkeni, 2010).




Penyakit kronis menghasilkan beban terbesar dari bidang kesehatan dalam masyarakat di masa modern saat ini. Para dokter sedang menghadapi tantangan terbesar dalam mengatasi masalah tersebut. Sedangkan jumlah penderita penyakit kronis terus bertambah dari tahun ke tahun. Kebanyakan penderita penyakit kronis tersebut memiliki minimal dua atau bahkan lebih dari dua penyakit yang diderita.

Istilah manajemen penyakit kronis atau chronic disease management (CDM) adalah sistem pelayanan yang dirancang untuk meningkatkan dejarat kesehatan pasien dan mengurangi biaya yang berkaitan dengan penyakit jangka panjang (Meyer and Smith, 2008). Pada dasarnya sistem ini bertujuan untuk menciptakan cost-effective treatment yang terdiri dari :
  1. Promosi kesehatan
  2. Tindakan preventif
  3. Early detection
  4. Gaya hidup sehat


Keberhasilan sebuah CDM yang baik dapat tercipta apabila komponen-komponen kunci di bawah ini dapat terpenuhi (Departement of Health, UK) :
  1. Penggunaan sistem informasi untuk mengakses data kunci pada individu dan populasi
  2. Mengidentifikasi pasien dengan penyakit kronis
  3. Stratifikasi pasien menurut risiko
  4. Melibatkan pasien dalam perawatan mereka sendiri
  5. Melibatkan multidisciplinary teams
  6. Mengintegrasikan keahlian dokter spesialis dan dokter umum
  7. Mengintegrasikan perawatan melintasi batas organisasi
  8. Bertujuan untuk meminimalkan kunjungan yang tidak perlu


Sehingga, untuk mencapai semua syarat di atas diperlukan sebuah hubungan timbal balik yang erat antara masyarakat, sistem kesehatan dan kinerja institusi kesehatan. Dalam hal kinerja institusi kesehatan, sebuah institusi di katakan memiliki kineja yang baik apabila memenuhi aspek(Grumbach &Bodenheimer, 2004):

  1. Sistem organisasi yang terintregasi dan terstuktur secara baik
  2. Pembagian kerja antara dokter spesialis, dokter umum perawat , dan profesional kesehatan lainnya yang tidak overlapping satu sama lain
  3. Effective team work antar profesional kesehatan
  4. Komunikasi dan kolaborasi antar profesional kesehatan dalam pengelolaan konflik (managing conflict)

Saat ini, pelaksanaan CDM sendiri telah diaplikasikan di Indonesia, khususnya di puskesmas. Dengan merubah tren pengobatan kuratif menjadi preventif, puskesmas yang notabene garda depan pelayanan kesehatan dituntut untuk mampu menciptakan masyarakat Indonesia yang sehat. Menganut metode cost-effective treatment yang telah dijelaskan sebelumnya, diharapkan pengeluaran biaya keasehatan untuk penyakit kronis dapat ditekan hingga seminimal mungkin tanpa mengesampingkan derajat kesehatan (quality of life) itu sendiri.

Kesimpulannya, penanganan penyakit baik kronis dapat membuat perbedaan nyata kedepannya, membantu mencegah krisis dan kemerosotan akibat dari penyakit kronis yang berkepanjangan, dan memungkinkan orang yang hidup dengan kondisi yang kronis untuk mencapai kualitas hidup yang baik.



Referensi

  • Perkeni. 2010. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.
  • Meyer, J. Smith, B.M. 2008. Chronic Disease Management: Evidence of Predictable Savings. HMA.
  • Departement of Health. Improving Chronic Disease Management.
  • Grumbach, K. Bodenheimer, T. Wagner, E.H.2002. Improving Primary Care for Patient with Chronic Ilness. JAMA. October 16, 2002-vol 288, no 15.

Selasa, 23 November 2010

Puskesmasku Tak Seperti Dulu



”Tercapainya Derajat Kesehatan yang Memungkinkan Setiap Orang Hidup Produktif Baik Secara Soial Maupun Ekonomi”. (World Health Assembly, 1977)

Sejarah berdirinya puskesmas (primary health centre/PHC) didasari oleh dua kesepakatan utama yaitu World Health Assembly tahun 1977 telah menghasilkan kesepakatan global untuk mencapai “Kesehatan Bagi Semua atau Health For All” Pada Tahun 2000 ( KBS 2000 / HFA by The Year 2000 ), yaitu Tercapainya suatu derajat kesehatan yang optimal yang memungkinkan setiap orang hidup produktif baik secara social maupun ekonomi. Selanjutnya pada tahun 1978, Konferensi di Alma Ata, menetapkan Primary Health Care (PHC) sebagai Pendekatan atau Strategi Global untuk mencapai Kesehatan Bagi Semua (KBS) atau Health For All by The Year 2000 ( HFA 2000 ). Dalam konferensi tersebut Indonesia juga ikut menandatangani dan telah mengambil kesepakatan global.

Dengan sasaran yang dipaparkan sebelumnya, untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan perubahan orientasi dalam pembangunan kesehatan yang meliputi perubahan – perubahan dari:

  1. Pelayanan Kuratif ke Promotif dan Preventif
  2. Daerah Perkotaan ke Pedesaan
  3. Golongan Mampu ke Golongan Masyarakat Berpenghasilan Rendah
  4. Kampanya Massal ke Upaya Kesehatan terpadu.
Puskesmas adalah Pelayanan kesehatan pokok yang berdasarkan kepada metode dan teknologi praktis, ilmiah dan sosial yang dapat diterima secara umum baik oleh individu maupun keluarga dalam masyarakat melalui partisipasi mereka sepenuhnya, serta dengan biaya yang dapat terjangkau oleh masyarakat dan negara untuk memelihara setiap tingkat perkembangan mereka dalam semangat untuk hidup mandiri (self reliance) dan menentukan nasib sendiri (self determination).

Pelaksanaan puskesmas di Indonesia menganut asas community based health activity (CBHA), yang artinya suatu bentuk kegiatan atau gerakan yang berasal dari, di kelola oleh dan juga bertujuan untuk masyakarat itu sendiri. Bentuk pelaksanaannya terwujud dalam pusat kesehatan yang membawahi juga sub-pusat kesehatan (puskesmas pembantu/pustu), puskemas keliling (pusling) serta bebarapa pos kesehatan desa seperti pos pelayanan terpadu (posyandu) dan poli bersalin desa (polindes).

Aspek-aspek dalam puskesmas terdiri dari :
  1. Edukasi kesehatan/promosi kesehatan : Pelaksanaan edukasi kesehatan mencakup program prilaku hidup sehat dan bersih, community health based education ( bulletin dari posyandu, pembuatan poster, lomba membuat pesan sehat, surat dari siswa, dan lainya yang intinya menggerakkan masyarakat untuk lebih sadar akan pentingnya kesehatan)
  2. Nutrisi : Program peningkatan nutrisi telah digalakan sejak tahun 1999 oleh Menteri Kesehatan melalui Nutrition Awareness Family Program, yang mencakup penimbangan balita secara teratur, konsumsi yodium, promosi variasi makanan sehari-hari, promosi ASI eksklusif dan konsumsi makanan suplemen.
  3. Kesehatan Ibu dan Anak : Gerakan Sayang Ibu telah diperkenalkan oleh Presiden republik Indonesia pada saat perayaan hari Ibu, 22 December 1996. Pesan penting dari program tersebut mencakup setiap kelahiran harus di bantu oleh petugas kesehatan yang terlatih, setiap komplikasi pada kasus obstetric dan neonatal harus mendapat perawatan yang memadai, setiap wanita yang produktif mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang tak terduga dan pengobatan komplikasi aborsi.
  4. Air dan Sanitasi : Partisipasi masyarkat memalui program community development dalam aspek kesehatan lingkungan telah mampu memotivasi masyarakat untuk menghasilkan fasilitas air bersih dan pengetahuan dasar sanitasi.
  5. Immunisasi :Puskesmas juga turut serta dalam pelaksanan Pekan Immuniasi National (PIN) dan Program Penyediaan Imuniasi (PPI) bagi balita.
  6. Pengendalian Penyakit Endemik Lokal : Pengendalian penyakit endemik lokal dilakukan melalui pos pelayanan terpadu untuk ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) dan diare. Di daerah endemis malaria, kontrol dilakukan melalui pos malaria desa atau pos obat desa. Semua kegiatan berada di bawah pengawasan puskesmas
  7. Pengobatan Penyakit Umum : Penyediaan pelayanan kesehatan seperi balai pengobatan umum, balai pengobatan gigi, balai kesehatan ibu dan anak, serta ketersediaannya laboratorium menjadikan puskemas sebagai alternatif pengobatan penyakit di samping oleh rumah sakit.
  8. Penyediaan Obat Essensial : Kebijakan yang harus diikuti puskemas juga terdapat pada penyediaan obat essensial yang tercantum dalam Daftar Obat Essensial Negara (DOEN), kemudian diharuskan menggunan penyediaan obat generik yang standar kualitasnya sama dengan kualitas obat patent.

Khusus untuk penyediaan obat di puskesmas, terdapat siklus logistik penyediaan obat yang teridi dari:
  1. Seleksi (selection) : Pada proses ini, obat-obat yang akan disediakan di data menurut kebutuhanya. Kebutuhan ini tergantung dari data pemakaian obat menurut penyakit, problem resistensi, area endemik tertentu dan banyaknya obat yg dibutuhkan
  2. Pembelian (procurement) : Setelah melakukan pendataan daftar kebutuhan obat, kemudian dilakukan pembelian obat kepada supplier. Dengan melakukan seleksi dan penjaminan kualitas terlebih dahulu melalui Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), setiap supplier obat di kontrak untuk pembelian tersebut.
  3. Distribusi (distribution) : Distribusi obat disalurkan melalui gudang farmasi kabupaten atau kota, di mana obat-obat yang dibeli sebelumnya di simpan.
  4. Pemakaian (use) : Obat yang akan dipakai di puskesmas terlebih dahulu dikemas dan dilabel. Kemudian di gunakan sesuai standar pengobatan yang telah ditetap sebelumnya. Setiap peresepan obat, harus selalu di catat untuk di lakukan pendataan daftar penyediaan obat selanjutnya.


Saat ini pelayanan yang diberikan puskesmas bukan main-main. Karena karena kebanyakan puskesmas sudah memiliki standar internasional atau ISO, ada berbagai unsur pelayanan yang sesuai dengan manajemen mutu yang sudah setaraf international dari mulai perangkat lunak (software) hingga perangkat keras (hardware) dan sumber daya manusia (SDM). Selain itu, harus juga diperhatikan visi dan misi, panduan pelayanan dan standar operasional pelayanan. Anda sudah pernah berobat ke Puskesmas?

Referensi :
  • WHO. Revitalizing Primary Health Care in Indonesia. www.searo.who.int/LinkFiles/Conference_INO-13-July.pdf
  • Lecture Note Dr. Erna Kristin, M. Si, Apt. Drug Management and Policy in Primary Health Care.
  • Kebijakan Dasar Puskesmas.Kepmenkes No 128 th 2004